Selasa, 26 Januari 2010

Cerita, "Odol" dari Surga

Cerita menggelikan ini kudengar ketika duduk dibangku SMA dulu. Cerita yang akhirnya tertulis begitu dalam di relung-relung hati. Cerita yang meskipun naif, namun bermakna sangat dalam.

Kisah nyata dari seseorang yang dalam episode hidupnya sempat ia lewati dalam penjara. Bermula dari hal yang sepele. Lelaki itu kehabisan odol dipenjara. Malam itu adalah malam terakhir bagi odol diatas sikat giginya. Tidak ada sedikitpun odol yang tersisa untuk esok hari. Dan ini jelas-jelas sangat menyebalkan. Istri yang telat berkunjung, anak-anak yang melupakannya dan diabaikan oleh para sahabat, muncul menjadi kambing hitam yang sangat menjengkelkan. Sekonyong-konyong lelaki itu merasa sendirian, bahkan lebih dari itu : tidak berharga ! Tertutup bayangan hitam yang kian membesar dan menelan dirinya itu, tiba-tiba saja pikiran nakal dan iseng muncul. Bagaimana jika ia meminta odol pada TUHAN ?

Berdoa untuk sebuah kesembuhan sudah berkali-kali kita dengar mendapatkan jawaban dari-NYA . Meminta dibukakan jalan keluar dari setumpuk permasalahanpun bukan suatu yang asing bagi kita. Begitu pula dengan doa-doa kepada orang tua yang telah berpulang, terdengar sangat gagah untuk diucapkan. Tetapi meminta odol kepada Sang Pencipta jutaan bintang gemintang dan ribuan galaksi, tentunya harus dipikirkan berulang-ulang kali sebelum diutarakan. Sesuatu yang sepele dan mungkin tidak pada tempatnya. Tetapi apa daya, tidak punya odol untuk esok hari –entah sampai berapa hari- menjengkelkan hatinya amat sangat. Amat tidak penting bagi orang lain, tetapi sangat penting bagi dirinya.

Cerita,"Pengrajin Emas dan Kuningan"

Di sebuah negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal persebelahan. Seorang diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini, sebab, ini adalah pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang dihasilkan dari pekerjaan ini. Cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai penghias, adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.

Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota. Hari pasar, demikian mereka biasa menyebut hari itu. Mereka akan berdagang barang-barang logam itu, sekaligus membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan. Beruntunglah, pekan depan, akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota, dan bermaksud memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang. Tentu, berita ini akan membuat semua pedagang membuat lebih banyak barang yang akan dijajakan.

Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.

Cerita, "Pohon Tua"

Suatu ketika, di sebuah padang, tersebutlah sebatang pohon rindang. Dahannya rimbun dengan dedaunan. Batangnya tinggi menjulang. Akarnya, tampak menonjol keluar, menembus tanah hingga dalam. Pohon itu, tampak gagah di banding dengan pohon-pohon lain di sekitarnya.

Pohon itupun, menjadi tempat hidup bagi beberapa burung disana. Mereka membuat sarang, dan bergantung hidup pada batang-batangnya. Burung-burung itu membuat lubang, dan mengerami telur-telur mereka dalam kebesaran pohon itu.

Pohon itupun merasa senang, mendapatkan teman, saat mengisi hari-harinya yang panjang. Orang-orang pun bersyukur atas keberadaan pohon tersebut. Mereka kerap singgah, dan berteduh pada kerindangan pohon itu. Orang-orang itu sering duduk, dan membuka bekal makan, di bawah naungan dahan-dahan. "Pohon yang sangat berguna," begitu ujar mereka setiap selesai berteduh. Lagi-lagi, sang pohon pun bangga mendengar perkataan tadi.

Namun, waktu terus berjalan. Sang pohon pun mulai sakit-sakitan. Daun-daunnya rontok, ranting-rantingnya pun mulai berjatuhan. Tubuhnya, kini mulai kurus dan pucat. Tak ada lagi kegagahan yang dulu di milikinya. Burung-burung pun mulai enggan bersarang disana. Orang yang lewat, tak lagi mau mampir dan singgah untuk berteduh.

Jumat, 22 Januari 2010

Kisah Penjual ketoprak

Kisah ini terjadi beberapa bulan yang lalu, saat saya dan adik sedang menginap di Hotel Cemara, di daerah Menteng-Jakarta Pusat. Pagi itu, kami jalan-jalan pagi sambil berusaha mencari penjual bubur ayam keliling. Tapi entah kenapa, jangankan penjual bubur ayam, pedagang kaki lima lain juga tidak tampak batang hidungnya. Mungkin karena hari itu hari minggu, jadi para pedagang kaki lima di sekitar daerah itu juga berlibur tidak melakukan aktivitas hariannya.

Setelah berjalan agak jauh dari hotel, kami menemukan seorang abang penjual ketoprak yang sedang melayani seorang pembeli. Awalnya kami ragu untuk singgah di tempat itu, karena adik saya saat itu sedang ingin sekali makan bubur ayam. Maklum, di daerah asal kami di Aceh, rasa bubur ayam-nya agak berbeda dengan di Jakarta. Tapi, karena perut yang sudah tidak bisa kompromi, akhirnya kami memutuskan untuk membeli ketoprak pada si abang tersebut.

Ketika penjual ketoprak sedang mempersiapkan makanan yang kami pesan, tiba-tiba datang seorang nenek tua berusia sekitar 60-70 tahun yang sudah agak bungkuk dan berjalan perlahan ke arah kami. Nenek itu menggunakan baju tua yang sudah lusuh dengan selendang yang disampirkan dikepalanya dengan warna yang sudah tidak jelas pula.